Perdebatan tentang Air Susu Ibu.

Ilustrasi Gamabar dari Pixabay(dot)com


Membaca koran tempo pagi ini,  tulisan ibu Irma Handayani, beliau sebagai Peneliti Dampak Industri Makanan bayi dan Anak Terhadap Kesehatan.  Judul yang dirilis tempo yaitu Air Susu Ibu Sebagai Hak Asasi. 

Menarik ulasan yang coba beliau sampaikan, awal tulisan ia memgangkat dampak ketika tidak menyusui dan menyusu pada anak. 

Ibu Irma Hidayana menuturkan bahwa hilangnya kesempatan bagi ibu untuk menyusui anak dapat meningkatkan resiko terkena kanker payudara dan rahim juga rentan terkena osteoporosis. Jadi paham sejauh ini, kalau memiliki kemampuan untuk menyusui tapi tidak melakukannya malah akan menyebabkan menderita penyakit tertentu. 

Sementara untuk sianak sendiri, absennya kesempatan mendapat ASI secara eksklusif sejak 1 jam pertama hingga 6 bulan pertama kehidupannya merupakan akar penyebab anak gampang terkena diare, flu, pilek dan asma. Semua ini masuk dalam penelitian klinis yang diterbitkan The Lancet pada tahun 2018 lalu. 

Padahal hak menyusui dan menyusu sendiri sudah tersurat dalam tiga kategori pengertian HAM yaitu hak perempuan, hak anak dan hak kesehatan. Ketiganya sudah termaktub dalam deklarasi universal tentang HAM tahun 1948. 

Ilustrasi Gamabar dari Pixabay(dot)com

Bahkan dalam Konvensi Hak Anak, anak berhak mendapatkan jaminan standar kesehatan tertinggi. Pemberian ASI selama 6 bulan pertama yang dilanjutkan beserta asupan makanan dan aman darinresiko kesehatan menjadi sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah. 

Berkaitan dengan hal tersebut yaitu hak anak untuk menyusu, sangat tergantung kepada ibunya. Dan keputusan ibu untuk menyusui bergantung juga kepada banyak faktor mulai dari informasi yang cukup tentang pentingnya menyusui dan bahaya susu formula, dukungan keluarga serta lingkungan sekitar hingga kebijakan. 

Seorang ibu bukan hanya memiliki kewajiban menyusui tetapi juga mandat kepada pemerintah, untuk memberikan informasi, edukasi serta dukungan fasilitas dan perlindungan kepada ibu dan orang tua untuk mengambil keputusan dan tindakan demi kepentingan terbaik bagi anak-anaknya. 

Penelitian juga mengutarakan bahwa hambatan dan kebingungan ibu serta masyarakat untuk membuat keputusan menyusui banyak disebabkan intervensi produsen susu formula melalui iklan dan promosi yang tidak bertanggung jawab. 

Bahkan dalam Kode Internasional tentang Pemasaran Produk Pengganti ASI (1981) dokumen ini menjelaskan bahwa negara anggota PBB harus mengghentikan pemasaran segala jenis susu formula dan makanan yang diperuntukkan bagi anak dibawah 36 bulan demi melindungi kesehatan, tumbuh kembang dan keselamatan jiwa anak.

Sejauh ini belum ada aplikasi nyata dari pengejawantahan Kode Internasional tentang Pemasaran Produk Pengganti ASI, belum ada sanksi tegas peredaran makanan pengganti ASI. Memang sejauh ini belum ditemukan adanya kelainan dan keluhan terhadap konsumsi makanan pengganti ASI itu sendiri. 

Pandangan sebagai orang awam. 
Saya sendiri sepakat dengan pemikiran Ibu Irma Handayani, hanya saja saya sebagai orang awam sedikit dibingungkan. Bagaimana dengan ibu yang tidak beruntung  untuk memberikan ASI ekslusif. Solusi buat mereka seperti apa yang akan coba diberikan? (atau mungkin hal ini berlaku pengecualian bagi ibu yang tidak dapat menyusui)

Lalu bahaya pemberian susu formula ini seperti apa terhadap kesehatan anak, sehingga sebisa mungkin pemberian asi ekslusif penting untuk dilakukan, ini yang menurut saya harus dijelaskan lebih detil. Bahkan beberapa dokter sendiri menyarakan pemberian susu formula  terutama untuk anak dengan kasus alergi susu.

Tapi semangat Ibu Irma saya dukung penuh terutama untuk ibu-ibu yang memang harus menyusui dan bisa untuk menyusui. Memang juga negara harus hadir untuk mendukung penuh hal ini. Serta melarang peredaran susu formula tertentu terutama yang berbahaya bagi kesehatan anak dan dilakukan sebelum jatuh korban.


Komentar