Pemahaman relasi antara Bernegara, Berbangsa dan Beragama masih kurang di negeri ini, bahkan di kalangan pendidik pun masih minim. Merujuk catatan akhir tahun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melalui koordinatornya Ubaid Matraji, menjelaskan bahwa pemahaman ketiga hal itu saling terkait tak mendasar dalam pemikiran para guru pendidik. Dikotomi pandangan terjadi saat menjalankan hal-hal seperti bernegara dan hidup dalam keragaman tidak dapat dilakukan bersama-sama.
Lanjutnya, hal ini memberi akibat kepada guru yang memberikan indoktrinasi pada siswa bahwa ada agama ataupun suku bangsa yang dinilai lebih baik daripada yang lain sehingga seolah berhak berbuat semaunya. Jadi bukan memahami Bhineka Tunggal Ika dan membuka ruang diskusi.
Sepakat dengan pemikiran beliau, memang akhir-akhir ini pandangan mengenai bernegara, berbangsa dan beragama menjadi sedikit terdistorsi. Ketika memaksakan sebuah kepentingan bersembunyi dibalik kata beragama, mengabaikan kata bernegara dan berbangsa. Bukan tidak mungkin bangsa ini akan menuju kehancurannya jika yang di ulang-ulang adalah kata beragama-beragama. Bukan mengabaikan beragama, banyak hal positif dari beragama, bisa dikatakan tidak ada hal negatifnya. Hanya saja saya kurang sependapat ketika agama dikedepankan demi maksud lainnya yang tidak tersirat dari sebuah golongan.
Masih dari catatan JPPI dari 34 sekolah yang tergabung didalamnya tercatat bahwa beberapa telah terjadi kasus intoleransi berupa diskriminasi terhadap siswa dari kalangan minoritas seperti perundungan verbal dan sosial.
Ilustrasi |
Bahkan ditengarai ada juga guru yang tak memberi sarana pendidikan keagamaan kepada siswa dari agama atau kepercayaan minoritas. Juga ditemukan guru yang mengutarakan ujaran kebencian pada kelompok tertentu saat mengajar.
Penting bagi guru untuk memahami makna konsensus pembentukan Indonesia sebagai negara demokratis dan berlandaskan Pancasila bukan agama, Ahmad Rizali, Kepala Bidang Pendidikan Masyarakat Profesional NU (NU Circle).
Sementara dari audit pandang guru sendiri, kompas mengambil contoh, Dian Misastra, guru SDN di Purwakarta, meski ia belajar nila Pancasila, hidup di lingkungan homogen membuat ia curiga pada orang beragama lain dan suku berbeda dari dirinya. Saat mengikuti pelatihan seperti sekolah guru kebhinekaan baru pikirannya terbuka ketika berinteraksi teman sejawat yang berbeda agama dan budaya.
Dan penting bagi guru ruang pertemuan seperti diatas karena tidak semua guru otomatis toleran terhadap perbedaan.
Nah kalau guru sudah dibekali dan di update informasinya, pe er bangsa ini ke depan semakin ringan untuk mewujudkan generasi masa depan yang paham makna antara bernegara, berbangsa dan beragama.
Kompas 2 Januari 2020.
Nice post
BalasHapusSip ka asep
Hapus